JABAR - Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) selalu menjadi isu kontemporer yang mengundang pro dan kontra di kancah sosial dan politik global. Argumentasi mendasar bagi kubu yang menyetujui LGBT dengan dalih menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia yang dimana seseoarng mempunyai hak sepenuhnya pada diri sendiri, termasuk kebutuhan seksualnya. Jika mengacu terhadap teori Universalisme Hak Azazi Manusia (HAM) merupakan pernyataan dan tuntutan terhadap pengakuan bahwa hak-hak manusia yang asasi adalah bagian kodrati yang inheren pada setiap pribadi manusia, tak peduli apapun warna kulitnya, jenis kelaminnya, usia, latar belakang kultural, agama atau spiritualitasnya. Pada intinya universalisme mengindikasikan bahwa HAM harus berlaku sama di semua tempat, tanpa terkecuali.
Sekitar kurun waktu tahun 1991-2007 masyarakat Rusia lebih toleran terhadap keberadaan kaum atau kelompok LGBT. Hal tersebut dibuktikan dengan dibukanya club khusus gay di kota Moskow dan St. Peterburg. Hadirnya club-club tersebut tidak lepas dari kehadiran kelompok sebagai wadah kaum LGBT berkumpul dan mendapatkan dorongan atau keberanian untuk melakukan tindakan self-disclosure dimana mereka dapat mengemukakan pendapat mereka. Selain itu, kelompok LGBT tersebut juga sebagai sarana untuk menyalurkan atau memperjuangkan tuntutan mereka mengenai persamaan hak mereka dalam bidang sosial, ekonomi dan khususunya dari bidang pernikahan.
Organisasi LGBT Rusia mulai berdiri pasca runtuhnya Uni Soviet karena terpengaruh faktor politik domestik yang sedang mengalami instabilitas, sehingga memberanikan mereka muncul ke permukaan. Perkembangan LGBT di ranah sosial tidak terkait oleh kebudayaan, agama, ras, seperti yang sering dianggap masyarakat awam bahwa perilaku LGBT merupakan pengaruh dari Barat atau dengan kata lain suatu penyakit ‘epidemic’ yang muncul dan menghilang. Perkembangan perilaku mengenai homoseksual yang merupakan bagian dari LGBT memiliki keterkaitan dengan keberadaan budaya, agama dan ras.
Sedangkan bagi kelompok yang menolak berpedapat bahwa perbuatan LGBT merupakan tindakan yang dianggap tidak normal, jauh dari nilai-nilai norma, dan dianggap kontradiktif terciptanya manusia atau keluar dari fitrahnya. Bahkan, hal tersebut dianggap membahayakan generasi masa depan umat manusia. Berdasarkan teori Relativisme Budaya disebutkan bahwa memandang HAM berbeda - beda, dengan melihat keterbatasan pada wilayah tempat tinggal dan kebudayaan. Apa yang menjadi hak bagi satu kelompok masyarakat belum tentu menjadi hak bagi kelompok masyarakat yang lain. Pada intinya teori relativisme berpandangan bahwan dalam pemenuhan Hak Asasi Manusia tidak dapat secera universal, namun harus di pahami secara norma, budaya dan agama di tempat atau wilayah tertentu.
Baca juga:
Mitos Asal Usul Larangan Sunda Jawa Menikah
|
Hingga kini, Pemerintah Rusia telah mengesahkan Undang-undang anti-LGBT. Rusia melarang semua bentuk propaganda LGBT, mulai dari tindakan hingga kampanye di publik, internet, film, buku, atau iklan. Kekuatan organisasi LGBT atau homoseksual di Rusia pada saat pemerintahan Presiden Vladimir Putin di pandang menurun, karena di Rusia sendiri kekuatan penguasa sangat berpengaruh terhadap proses politik dalam kebijakan keberadaan LGBT di Rusia tersebut. Presiden Rusia Vladimir Putin memang telah lama bersekutu dengan Gereja Ortodoks Rusia dan secara aktif menjauhkan negaranya dari nilai-nilai Barat yang liberal. Dikutip melalui media Deutsche Welle (DW) “Bulan lalu, dia mengatakan Rusia tidak akan melegalkan pernikahan sesama jenis selama dia menjadi presiden.”
Adapun bagi warga yang melanggar bisa didenda hingga 400 ribu rubel atau sekitar Rp103 juta. Sementara itu, organisasi atau lembaga yang melanggar bisa didenda hingga 5 juta rubel atau setara Rp1, 2 miliar. Apabila propaganda itu dilakukan oleh orang asing, maka mereka bisa ditangkap dan diusir hingga 15 hari dari Rusia. Beberapa alasan mengapa undang-undang LGBT tersebut disahkan diantaranya adalah:
Baca juga:
*Buku "Rasionalisasi Kemustahilan."*
|
Pertama, Untuk memperluas cakupan aturan anti-LGBT Rusia yang sebelumnya sebatas melarang keras praktik LGBT di hadapan anak-anak.
Kedua, Sebagai solusi untuk menyelesaikan ditengah tekanan terhadap kelompok minoritas.
Ketiga, Rusia ingin kembali memperkuat kembali nilai-nilai tradisional yang telah ada.
Indonesia sendiri belum memiliki Undang-undang tentang LGBT dan masih menjadi perdebatan eksistensinya dalam substansi terbaru yaitu KUHP. Dalam KUHP tidak ada kata LGBT; lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Meskipun ada ancaman pidana terhadap kegiatan asusila dan hubungan seks sesama jenis. Tidak ada aturan perundang - undangan yang mengatur definisi soal LGBT. Sebagai kritik, Pemerintah Indonesia tidak secara tegas untuk menentukan keberpihakannya kepada kelompok minor dan dalam merancang serta membuat keputusan yang di-sahkan.
Kelompok LGBT di Indonesia mulai dari tahun 2016 mengkampanyekan bahwa LGBT juga mempunyai hak yang sama serta di lindungi oleh HAM. Walaupun, kala itu dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyerukan atau memberlakukan larangan penampilan atau gaya lelaki yang menyerupai perempuan tampil di televisi. Namun, pelarangan LGBT tidak ada payung hukumnya di Indonesia hingga saat ini, untuk penyikapan LGBT di Indonesia.
Zulkifli Hasan saat diwawancarai oleh Merdeka.com menyebut “ada lima fraksi parpol di DPR yang pro LGBT.” Sehingga, hal ini harus direspon secara aktif dan substansi, karena dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada Pasal 29 Ayat 1 menyatakan Negara Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Firman Soebagyo selaku Wakil Ketua badan Legislasi (Baleg) DPR saat diwawancarai melalui merdeka.com “Firman Soebagyo mengaku pernah dilobi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) asing agar membahas soal Rancangan Undang-undang LGBT. Namun, Firman menyebut “Baleg DPR langsung menolak lobi tersebut”.
Jika melihat dampak dari tindakan LGBT akan merusak asusila, moral dan banyak dampak yang fatal seperti dalam medis 60 kali lipat lebih mudah tertular HIV/AIDS bagi Kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) atau yang dikenal sebagai gay dan dapat menjadi suatu penyebab kanker anal. Oleh karena itu, perlu dirancang turunan Undang-undang khusus LGBT untuk mempertegas keberadaannya dan konsekuensi hukumnya di Indonesia, karena wacana yang beredar masa kini masih banyak celah ketidakpastian hukum bagi kelompok LGBT diakomodir berdasarkan HAM dan perjuangannya yang dijamin oleh negara. Faktanya masih banyak yang mengkampayekan isu-isu LGBT di berbagai platform media.
Serta dapat kita lihat kekuatan massa atau kelompok LGBT dan Pemerintah berpengaruh pada proses politik atau pembuatan kebijakan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat di Indonesia dan Rusia saat ini. Perjuangan Politik Organisasi Homoseksual atau LGBT di Indonesia dan Rusia ini tetap konsisten untuk memperjuangkan hak nya yang melekat dalam tubuh individu, tujuannya ialah agar para kelompok LGBT ini merasa aman dan nyaman. Para kelompok LGBT harus menyampaikan narasi perjuangan terhadap Hak Asasi Manusia, secara intelektual, konstitusi dan rasional. Dengan tidak adanya regulasi, maka Pemerintah Indonesia masih dilematis dalam keberpihakan. Sehingga, menyebabkan kampanye LGBT di media sosial masih selalu ada atau tetap tersebar secara masif melalui komunitas - komunitas secara sunyi.
Dikutip melalui website tvonenews.com, “bahwa ada kasus temuan 3.000 anggota LGBT di Garut diutarakan oleh Aliansi Umat Islam (AUI) Garut. Angka 3.000 LGBT muncul setalah pihak AUI melakukan kajian dan terjun ke lapangan. Dengan menemukan komunitas tersebut, AUI menuding keanggotaan LGBT di Garut sudah tak malu - malu eksis di Media Sosial “.
Jika pemerintah memberikan legitimasi secara makro, maka implementasi juga butuh masyarakat secara umum bahkan sampai unit terkecil seperti keluarga. Pentingnya edukasi dan sosialisasi mengenai tentang nilai dan praktik dari Pancasila di Indonesia menjadi salah satu bentuk riil bahwa kondisi masyarakat akan tetap terjaga apabila terhindar dari pengaruh dampak negatif keberadaan LGBT yang umumnya sudah semakin terlihat dari seorang anak ketika tumbuh remaja hingga dewasa. Selain itu, kebudayaan yang semakin tergerus faktor globalisasi semakin harus dipahami kembali secara bersama terutama hal ini berkaitan dengan keutuhan bangsa dan negara. Dalam praktiknya, menjaga nilai-nilai dan norma sosial dan agama yang berkembang di masyarakat menjadi tonggak bagi kemajuan peradaban dan terhindar dari beragam pengaruh yang akan merusak generasi muda Indonesia. ***
Penulis : Ringga Wijaya Kusuma (Mahasiswa Pascasarjana, FISIP, Universitas Indonesia)